MAHAKAMA – Lintasan lari di Samarinda, khususnya di area populer seperti GOR Kadrie Oening, kini tidak hanya diisi oleh keringat dan langkah kaki, tetapi juga warna-warni outfit dan sepatu lari premium.
Fenomena Pelari Kalcer—akronim dari ‘Pelari Culture‘—tengah merajalela, mengubah lari dari sekadar aktivitas fisik menjadi sebuah gaya hidup yang sarat makna sosial. Namun, apakah tren ini didorong oleh kebutuhan kebugaran, atau desakan konsumerisme?
Klasifikasi Sosial di Lintasan Lari
Fenomena Pelari Kalcer, di mana aspek fashion dan merek perlengkapan menjadi sangat penting, tidak dapat dilepaskan dari konsep sosiologi oleh Pierre Bourdieu, “Taste classifies, and it classifies the classifier”.
Pilihan untuk mengenakan brand tertentu atau outfit yang stylish adalah sebuah cara untuk mengklasifikasikan diri dan menunjukkan posisi atau identitas dalam kelompok sosial. Memiliki perlengkapan premium tidak hanya meningkatkan performa, tetapi juga memberikan status dan pengakuan sosial.
Ayu (23) seorang pelari di Samarinda yang telah bergabung dengan komunitas lari selama enam bulan, mengakui dualisme ini.
“Aku tetap utamakan teknik lari yang benar. Tapi, membeli sepatu dan outfit lari yang bagus itu juga penting. Selain untuk meningkatkan performa dan mencegah cedera, ini juga membentuk gaya hidup. Tampilan bagus membuat kita lebih termotivasi untuk lari dan bertemu teman komunitas,” ujarnya.
Serupa dengan Ayu, Wisnu (27) juga mengamini bahwa perlengkapan lari yang bagus juga berpengaruh dengan performanya.
“Misalnya sepatu dan smartwatch. Kalo outfit gak terlalu sih, yang penting nyaman dipakai,” ucap Wisnu.
Lari Mendorong Penjualan Produk Olahraga
Tren Pelari Kalcer secara langsung berbanding lurus dengan pertumbuhan pesat di industri ritel produk olahraga. Data menunjukkan adanya lonjakan signifikan dalam minat lari yang kemudian memicu peningkatan konsumsi perlengkapan.
Garmin Connect mencatat sebanyak 5.560.506 aktivitas lari dan 2.355.822 aktivitas berjalan dilakukan oleh pengguna Garmin di Indonesia selama tahun 2024, ini meningkat drastis dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan aktivitas ini secara langsung mendorong permintaan akan sepatu, apparel, dan smartwatch lari.
Kondisi ini menunjukkan bahwa selain memberikan efek positif pada kesehatan publik, lari juga menjadi mesin pendorong bagi pasar konsumsi yang mengaburkan batas antara kebutuhan dan keinginan.
Peran Media Sosial sebagai Penguatan Tren
Ekosistem media sosial memicu pesatnya tren Pelari Kalcer. Aplikasi seperti Instagram, platform foto seperti Fotoyu, dan jasa street photographer khusus lari memainkan peran krusial. Foto-foto pelari yang modis dan stylish, diperkuat dengan editing foto yang menonjolkan estetika, sehingga menjadi konten viral. Algoritma media sosial secara tidak langsung mendorong pengguna untuk mengikuti standar visual yang sedang tren.
Bagi banyak pelari di Samarinda, memiliki sepatu lari yang tepat dan outfit yang “on point” menjadi penting bukan hanya untuk lari yang nyaman, tetapi juga untuk mendapatkan foto yang shareable dan validasi sosial. Olahraga di era modern tidak lagi hanya tentang fisik, tetapi juga tentang bagaimana kita memproyeksikan diri kepada orang lain.
Meskipun kritik terhadap konsumerisme tetap ada, sulit untuk menyangkal dampak positif dari fenomena ini. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) menunjukkan, masyarakat Indonesia rata-rata hanya berjalan sebanyak 3.513 langkah per hari, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan warga Tiongkok yang rata-rata berjalan sebanyak 6.189 langkah per hari. Dengan semakin banyaknya orang yang terlibat dalam olahraga berkat tren Pelari Kalcer, ada harapan bahwa tingkat aktivitas fisik di Indonesia akan meningkat.
Tren media sosial yang mempromosikan lari sebagai gaya hidup yang modis dan sehat telah berhasil menarik banyak orang, terutama generasi muda, untuk mulai aktif berlari. Selain itu, komunitas lari di Samarinda juga berkembang pesat. Ini menjadi ruang interaksi sosial, mengurangi stres, dan meningkatkan komitmen terhadap rutinitas olahraga.
Untuk siapa kita berlari?
Pelari Kalcer adalah refleksi dari bagaimana olahraga di era modern berinteraksi dengan budaya digital dan konsumerisme. Meskipun tren ini membawa manfaat besar dalam hal kebugaran publik, tantangan reflektifnya tetap ada: apakah kita berolahraga untuk kesehatan kita sendiri, atau hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial yang terus berkembang?
Samarinda kini berada di persimpangan antara manfaat kesehatan dan godaan gaya hidup. Keseimbangan antara fungsi dan fashion adalah kunci agar tren ini tetap berkelanjutan dan bermanfaat.
Penulis : Desy Alvionita
Editor : Amin