MAHAKAMA – Di tengah gempuran game AAA dengan grafis memukau, sebuah platform dengan tampilan karakter kotak-kotak sederhana justru merajai layar gawai jutaan anak hingga remaja di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Namanya Roblox. Platform ini bukan hanya sekadar tempat bermain, melainkan sebuah dunia virtual yang tak terbatas, di mana penggunanya bisa menjadi pemain, sekaligus kreator.
Fenomena Roblox jauh melampaui batas definisi game biasa. Dengan total 7,2 juta pengguna aktif di Indonesia, Roblox telah bertransformasi menjadi ruang sosial, ajang kreativitas, bahkan panggung hiburan bagi musisi-musisi ternama Tanah Air. Namun, popularitas ini juga diiringi pro dan kontra, terutama dari kalangan orang tua yang mulai khawatir dengan dampak kontennya.
Dari Dunia Virtual ke Kultur Pop: ‘Penyakit Mancing Gila’ dan Konser Moshing Avatar
Roblox, yang diluncurkan pertama kali pada 2006, berawal dari platform edukasi berbasis fisika. Kini, ia berevolusi menjadi sebuah taman bermain digital di mana ribuan game baru lahir setiap hari, semuanya diciptakan oleh komunitas penggunanya sendiri melalui fitur Roblox Studio.
Di Indonesia, fenomena yang muncul di Roblox kerap kali menjadi pembicaraan hangat di media sosial. Salah satunya adalah “Penyakit Mancing Gila” yang sempat viral di kalangan pengguna TikTok. Istilah ini merujuk pada kehebohan pemain dari game Fish It di Roblox yang begitu antusias mencari ikan-ikan langka.
Tak hanya itu, Roblox juga menjadi saksi lahirnya tren baru di dunia musik. Komunitas Moshcorblox misalnya, berhasil membangun panggung virtual bernama Moshkopi 1990. Di sini, para penggemar musik bisa moshpit secara virtual menggunakan avatar mereka sambil menikmati setlist lagu dari band-band hardcore atau musisi independen. Nama-nama besar seperti Danilla Riyadi dan Sukatani bahkan pernah meramaikan panggung digital ini.
”Buat generasi yang tumbuh bareng avatar, nonton konser virtual bukan hal aneh, justru gaya hidup baru. Siapa tahu, beberapa tahun ke depan kita enggak lagi rebutan tiket festival, tapi rebutan server slot di konser virtual musisi favorit,” tulis sebuah media massa yang menyoroti tren ini.
Dua Sisi Mata Uang: Kreativitas vs. Konten Berisiko
Kekuatan utama Roblox terletak pada kebebasan berkreasi. Roblox Studio adalah “laboratorium digital” yang mengajarkan anak-anak dan remaja logika pemrograman, desain, dan kerja sama tim.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang pengamat teknologi dari Koding Next:
”Roblox Studio adalah laboratorium digital buat anak-anak. Mereka bisa mencoba hal-hal baru, belajar logika, sampai mengasah keterampilan masa depan. Kebanyakan orang tua masih melihat Roblox sebatas game. Padahal kalau diarahkan, Roblox bisa jadi sarana belajar yang luar biasa.”
Namun, sifat terbuka platform ini layaknya pedang bermata dua. Konten yang sepenuhnya dibuat oleh pengguna (UGC) memicu kekhawatiran besar tentang keamanan anak. Isu-isu tentang ujaran kebencian, kekerasan, hingga unsur seksual dalam beberapa game buatan pengguna telah memicu reaksi dari berbagai pihak, termasuk dari lembaga pemerintah.
Jeritan dan Kekhawatiran Para Orang Tua
Kekhawatiran orang tua di Indonesia bukanlah fiksi. Sejumlah orang tua mengungkapkan kecemasan mereka terhadap konten tak pantas yang mungkin muncul di layar anak mereka.
Aditya Nugrha (34), seorang ayah, mengungkapkan kekhawatiran yang dirasakannya kepada sebuah media:
”Saya cemas jika Roblox menampilkan teks atau visual yang tidak sepatutnya dilihat anak di bawah umur. Walaupun kami sudah membatasi waktu bermain, kami tetap mendorong anak lebih banyak beraktivitas fisik dan sosial.”
Kekhawatiran ini sempat memuncak dan memicu usulan pelarangan atau pemblokiran. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, bahkan pernah mengimbau anak-anak agar tidak bermain Roblox karena dinilai berpotensi meniru adegan kekerasan yang ada dalam game tersebut.
Namun, di sisi lain, ada orang tua yang memilih pendekatan lain. Mayang (38), yang anaknya juga gemar bermain Roblox, memilih untuk tidak melarang total.
”Saya, sih, ikut main (Roblox) saja, biar bisa sambil mantau aktivitas anak di sana. Kalau kita (orang tua) ikut main, kita, tuh, bisa ngelihat aktivitas anak. Justru dengan gitu, kita bisa ngasih kesempatan anak buat main, tapi juga tetap dengan pengawasan orang tua,” kata Mayang.
Strategi yang disebut co-play ini dianggap efektif oleh para ahli psikologi. Arnold, seorang psikolog, menegaskan:
”Roblox bisa menjadi sarana belajar yang menyenangkan jika digunakan dengan pengawasan aktif. Kuncinya bukan melarang total, melainkan mendampingi, mengarahkan, dan membekali anak dengan keterampilan untuk aman di dunia digital.”
Masa Depan Roblox: Antara Regulasi dan Revolusi Digital
Melihat pro dan kontra yang berkembang, pihak Roblox sendiri mulai mengambil langkah strategis. Mereka mengumumkan akan memperketat aturan dan membatasi konten dewasa, yang didorong oleh kritik dan kekhawatiran global.
Roblox bukan sekadar tren sesaat. Dengan basis pengguna yang masif, dari anak sekolah yang belajar coding sambil bermain, hingga musisi yang menggelar konser virtual, platform ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur digital. Ia menantang orang tua untuk tidak hanya sekadar melarang, melainkan harus beradaptasi dan berpartisipasi aktif dalam dunia digital anak mereka.
Fenomena Roblox membuktikan bahwa di era digital, bermain adalah berkreasi, bersosialisasi, dan bahkan membangun karier. Tantangannya kini adalah bagaimana menciptakan keseimbangan antara kebebasan berekspresi di dunia virtual dan tanggung jawab atas keamanan penggunanya.
Penulis : Redaksi