By admin
28.10.25

Cara Sederhana Deteksi Deepfake: Cek Pantulan Cahaya di Mata Subjek

PERKEMBANGAN teknologi kecerdasan buatan (AI) membawa tantangan baru. Konten deepfake kini hadir semakin meyakinkan. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih waspada dan teliti menilai keaslian foto atau video.

Saat ini, masyarakat sulit membedakan mana konten asli dan mana yang palsu. Foto atau video deepfake bisa terlihat sangat mirip dengan yang asli. Universitas Airlangga menjelaskan, deepfake adalah teknik memanipulasi foto atau video menggunakan AI. Deepfake menghasilkan konten baru yang tampak asli dan meyakinkan.

Dilansir Detik (25/10/2025), Aziz Fajar, Dosen Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Unair, menjelaskan cara kerja deepfake. Ia menerangkan, cara kerjanya mengubah piksel pada gambar.

“Dengan mengubah piksel pada gambar, maka akan tercipta gambar modifikasi yang berbeda dari aslinya,” ucapnya.

Lantas, bagaimana cara membedakan foto atau video yang asli dengan konten deepfake?

Pantulan Mata Ungkap Kepalsuan

Peneliti menemukan cara sederhana untuk membedakannya. Kita dapat melihat pantulan cahaya atau refleksi di mata pada foto atau video.

Foto: (Kiri) Wajah asli, dengan pantulan cahaya yang tampak alami di mata. (Kanan) Wajah hasil deepfake, pantulan cahayanya terlihat janggal.

Hasil penelitian Adejumoke Owolabi, mahasiswa MSc University of Hull, menunjukkan pantulan yang tidak konsisten pada mata orang. Ketidakkonsistenan ini menjadi tanda-tanda video atau foto tersebut merupakan konten deepfake.

Sederhananya, pantulan cahaya pada mata subjek harus selaras dan serasi. Apabila ukuran, bentuk, dan letak pantulan cahaya di mata seseorang tampak selaras dan serasi, maka kemungkinan konten itu adalah foto atau video asli. Jika tidak, kemungkinan besar video atau foto tersebut adalah konten deepfake.

Prinsip Sains di Balik Temuan

Owolabi mengatakan, prinsip mengecek pantulan pada mata subjek foto atau video tersebut sama dengan cara astronom mempelajari gambar galaksi. Owolabi memaparkan hasil penelitiannya di pertemuan Royal Astronomical Society’s National Astronomy Meeting 2024 di Hull.

Kevin Pimblet, profesor astrofisika dan Direktur Pusat Keunggulan Ilmu Data, Kecerdasan Buatan, dan Pemodelan di University of Hull, menjelaskan lebih lanjut temuan ini dari sisi sains. “Pantulan bola mata pada orang sungguhan itu konsisten. Jika tidak, berdasarkan sudut pandang ilmu fisika, berarti orang tersebut adalah palsu,” terangnya.

Para peneliti menganalisis pantulan cahaya pada bola mata orang dalam foto asli. Mereka juga menganalisis pantulan pada foto yang dihasilkan oleh AI. Peneliti menggunakan metode yang biasa diterapkan dalam astronomi. Metode ini berfungsi mengukur pantulan dan memeriksa keselarasan antara pantulan di mata kiri dan kanan.

Gambar palsu cenderung menunjukkan ketidakkonsistenan antara pantulan di kedua mata. Sebaliknya, gambar asli biasanya memiliki pantulan yang serupa. Prinsip-prinsip ini juga diterapkan para astronom. Pimblet menambahkan, para astronom mengukur bentuk galaksi. Mereka melihat apakah galaksi tersebut padat di tengah. Mereka juga mengecek bentuknya simetris. Selain itu, mereka menganalisis distribusi cahaya.

Menggunakan Indeks Gini untuk Perbandingan

Peneliti menggunakan Indeks Gini untuk membandingkan kesamaan bola mata kiri dan kanan. Jika peneliti menemukan perbedaan pada pantulan, mereka dapat menilai sebuah foto adalah konten deepfake.

Indeks Gini adalah ukuran yang dapat mengukur distribusi pada gambar galaksi. Caranya adalah mengurutkan piksel berdasarkan cahaya. Kemudian, Indeks Gini membandingkannya dengan hasil distribusi yang ideal. Nilai Gini 0 menunjukkan distribusi cahaya yang merata di semua piksel. Sedangkan nilai Gini 1 menunjukkan konsentrasi cahaya yang tidak merata pada piksel.

Awalnya, tim peneliti menguji parameter CAS. Parameter yang digunakan meliputi konsentrasi, asimetri, dan smoothness. Ketiganya dirancang untuk mendeteksi pantulan serta mengecek distribusi cahaya galaksi berdasarkan fitur morfologisnya. Sayangnya, parameter ini kurang efektif mendeteksi gambar palsu.

Profesor Pimblet menekankan cara ini bukanlah metode paten. “Ada kemungkinan hasil yang didapat tidak semua terdeteksi kepalsuan maupun keasliannya. Namun demikian, dengan mengetahui metode ini, kita mengetahui strategi membedakan foto dan video yang asli dengan deepfake,” ujarnya. (*)


Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin

Trending

https://flybharathi.com/airlines/