MAHAKAMA– Setiap pagi, jutaan guru berdiri tegak di depan kelas, memikul harapan bangsa di pundak mereka. Profesi guru adalah pekerjaan paling sulit, menuntut pengorbanan waktu dan tenaga, namun nyatanya tidak dihargai secara layak. Hal ini membuat para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut harus berjuang keras demi memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka.
Faktanya, profesi guru berada dalam ancaman krisis kesejahteraan nyata. Menurut Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), sebanyak 56,5 persen guru Indonesia tercatat pernah menggadaikan barangnya. Angka ini terhitung besar, melebihi setengah dari keseluruhan responden.
IDEAS melakukan survei ini pada Mei 2024 terhadap 403 responden guru. Responden berasal dari 25 provinsi di Indonesia dengan status PNS, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), guru tetap, dan guru honorer.
Aset yang Terpaksa Dijual Murah
Survei dari IDEAS menunjukkan emas perhiasan menjadi aset paling banyak digadaikan. Perolehannya mencapai 38,5 persen. Emas perhiasan memiliki nilai ekonomi cenderung stabil. Tingginya harga taksiran mendorong mayoritas publik untuk menggadaikannya sebagai dana cepat.
Selanjutnya, pada urutan kedua, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) digadaikan oleh 14 persen responden guru. Pemilik masih bisa menggunakan kendaraan secara normal meskipun BPKB digadaikan. Kondisi inilah yang dimanfaatkan sebagian besar publik guru untuk bisa mendapatkan sejumlah dana diperlukan.
Pada posisi ketiga, sebanyak 13 persen responden tercatat menggadaikan sertifikat tanah atau rumah. Rumah adalah salah satu kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Aksi penggadaian sertifikat tanah atau rumah menandakan betapa rendahnya tingkat kesejahteraan guru di Indonesia.

Janji Kampanye dan Gaji di Bawah Upah Minimum
Permasalahan kesejahteraan guru menjadi semakin rumit karena janji-janji politik tidak terealisasi. Dilansir Kompas (7/10/2025), janji kampanye Upah Minimum Guru Non-ASN (Aparatur Sipil Negara) oleh Prabowo-Gibran sampai hari ini tidak pernah terealisasi. Padahal, janji ini akan menyejahterakan guru honorer negeri maupun guru swasta. Kedua kelompok guru ini sama-sama tidak sejahtera.
Sayangnya, guru honorer dan guru swasta saat ini masih digaji jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Gajinya berkisar antara Rp 250.000 hingga Rp 2 juta per bulan, berdasarkan data IDEAS tahun 2024. Artinya, pemerintah belum punya komitmen dan mekanisme jelas untuk menyejahterakan guru non-ASN.
Namun akar masalahnya bukan hanya pada jumlah gaji, melainkan juga pada sistem yang meniadakan batas minimum pendapatan.
Akar Struktural: Definisi Gaji yang Rancu
Secara struktural, masalah ini berakar pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 14 Ayat (1a) menyebut bahwa guru berhak atas “penghasilan di atas kebutuhan minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.” Sekilas terdengar ideal, tapi pasal ini tidak memiliki aturan turunan yang menetapkan besaran atau mekanisme penghasilan minimum itu.
Masalahnya, Pasal 15 kemudian menyamakan gaji dan tunjangan sebagai satu kesatuan. Padahal, tunjangan penuh hanya berlaku untuk guru ASN. Akibatnya, guru non-ASN tidak punya dasar hukum untuk menuntut gaji pokok minimum. Celah definisi ini memungkinkan lembaga pendidikan membayar guru tanpa batas bawah yang jelas, selama ada komponen tunjangan apa pun yang “dianggap” bagian dari gaji.
Kebijakan yang Memperburuk Kesejahteraan
Kebijakan pemerintah terkini justru memperburuk kondisi. Permendikbudristek Nomor 63 Tahun 2023 melarang guru menerima gaji Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Tunjangan Profesi Guru (TPG) secara bersamaan. Guru harus memilih salah satu di antara keduanya.
Sebagai simulasi, bayangkan satu guru honorer digaji dari dana BOS hanya Rp 1 juta dan TPG Rp 2 juta. Guru tersebut harus memilih, gaji Rp1 juta atau tunjangan profesi guru Rp2 juta? Pilihan ini bukan pilihan yang solutif.
Kebijakan ini membuat guru honorer harus kehilangan sebagian penghasilan. Penghasilan mereka turun hingga di bawah kebutuhan dasar. Pemerintah memang menambal lewat insentif Rp 300.000 per bulan. Namun, insentif ini dirapel setahun sekali sehingga nilainya tidak berarti banyak.
Dampak Sertifikasi dan Definisi Guru yang Sempit
UU Nomor 14 Tahun 2005 mendefinisikan guru sebagai pendidik profesional bersertifikat. Hal ini berarti guru non-PPG (Pendidikan Profesi Guru) atau yang belum bersertifikat tidak dianggap guru penuh.
Kondisi ini membuat guru tanpa sertifikasi kehilangan hak terhadap pasal penghasilan minimum. Sekolah swasta memanfaatkan celah ini. Mereka bisa membayar guru sangat rendah tanpa melanggar hukum karena guru tersebut tidak terdefinisi sebagai “guru profesional” sesuai UU.
Inilah mengapa sangat penting memastikan siapa pun yang bekerja untuk pendidikan, terutama guru, diupah dengan layak. Kelayakan upah akan mengembalikan rasa hormat terhadap profesi guru.(*)
Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin