By admin
31.10.25

Manusia Silver di Samarinda: Cermin Ketimpangan Sosial dan Lemahnya Peran Pemerintah

Muhlis (Akademisi dan Penggiat Budaya Unmul)/IST

MAHAKAMA – Fenomena manusia silver kembali menjadi sorotan publik di Kota Samarinda. Sosok-sosok yang tubuhnya dilumuri cat berwarna perak kini mudah dijumpai di berbagai perempatan lampu merah, seperti di simpang Antasari–Slamet Riyadi, Juanda–Sirad Salman, dan beberapa titik lainnya. Mereka berdiri di bawah terik matahari, menampilkan gestur layaknya patung hidup sambil menadahkan tangan kepada para pengendara yang berhenti menunggu lampu hijau.

Kehadiran manusia silver ini seolah menjadikan lampu merah sebagai panggung pertunjukan jalanan, bukan lagi sekadar tempat berhenti sementara. Namun di balik aksi mereka, tersimpan keresahan mendalam masyarakat dan tanda tanya besar terhadap peran pemerintah, khususnya Dinas Sosial (Dinsos) dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang dinilai belum bekerja maksimal dalam pembinaan serta penertiban.

Dalam beberapa bulan terakhir, jumlah manusia silver di Samarinda meningkat pesat. Berdasarkan pantauan lapangan, kelompok-kelompok kecil mereka berpindah-pindah di berbagai titik strategis, terutama pada jam sibuk. Sebagian besar merupakan pemuda, bahkan ada yang masih berusia belasan tahun. Banyak di antara mereka mengaku terjun ke jalan karena tidak memiliki keterampilan dan sulit mendapatkan pekerjaan tetap.

Fenomena ini bukan hanya mengganggu estetika kota, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terkait keselamatan, baik bagi mereka sendiri maupun pengguna jalan lain. Sayangnya, meski fenomena ini telah berlangsung lama, belum tampak upaya serius dari pemerintah daerah untuk menanganinya secara sistematis.

Sejumlah pihak menilai Dinsos dan Satpol PP Kota Samarinda serta Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur seolah menutup mata terhadap persoalan sosial yang kian memprihatinkan ini. Penertiban memang pernah dilakukan beberapa bulan lalu, tetapi tidak berkelanjutan. Tidak adanya tindakan lanjutan membuat para pelaku kembali turun ke jalan karena merasa aman dari penegakan aturan.

Fenomena ini memperlihatkan lemahnya koordinasi antarinstansi. Dinas Sosial seharusnya memiliki program pembinaan dan pemberdayaan, sementara Satpol PP berperan dalam penegakan perda. Jika keduanya tidak berjalan, maka yang muncul adalah pembiaran sosial.

Sementara itu, masyarakat semakin resah. Banyak pengendara mengaku tidak nyaman karena sering “dihadang” atau diminta uang saat lampu merah. Beberapa warga bahkan menilai fenomena ini sebagai bentuk eksploitasi terselubung.

Awalnya kasihan, tapi lama-lama risih juga. Apalagi mereka sering mendekati kendaraan, kadang sampai mengetuk kaca. Pemerintah harus turun tangan, jangan dibiarkan terus begini.

Lebih jauh, fenomena manusia silver ini mencerminkan budaya instan dalam mencari uang tanpa melalui proses kerja formal. Dengan bermodal cat perak dan keberanian berdiri di jalanan, sebagian orang merasa bisa memperoleh pendapatan harian tanpa keterampilan atau pendidikan. Hal ini merupakan bentuk kegagalan pendidikan sosial dan ekonomi masyarakat.

Kita sedang menghadapi fenomena sosial baru di mana kreativitas digunakan secara keliru. Seharusnya kemampuan seni tubuh atau performa bisa diarahkan ke bentuk yang lebih positif, seperti seni jalanan kreatif, komunitas seni kota, atau pelatihan kerja.

Peran pemerintah, khususnya pemerintah daerah, sangat penting untuk menyalurkan potensi tersebut ke arah produktif. Jika dibiarkan, budaya instan ini akan mengakar dan menciptakan generasi muda yang terbiasa mencari jalan pintas untuk memperoleh uang.

Fenomena manusia silver bukan sekadar masalah ketertiban, melainkan cermin dari persoalan ekonomi dan sosial perkotaan yang lebih dalam. Pemerintah tidak cukup hanya melakukan penertiban sesaat; dibutuhkan strategi jangka panjang melalui pelatihan keterampilan, pemberdayaan ekonomi, hingga pembinaan moral dan sosial.

Dinsos dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan, universitas, maupun komunitas kreatif untuk memberikan ruang alternatif bagi mereka yang memiliki minat di bidang seni. Sementara Satpol PP perlu memastikan ruang publik tetap aman, tertib, dan tidak digunakan untuk aktivitas berisiko.

Ketika lampu merah di Samarinda berubah menjadi “panggung seni jalanan” bagi manusia silver, sesungguhnya itu bukan sekadar tontonan, melainkan cermin dari lemahnya tanggung jawab sosial pemerintah dan masyarakat. Jika Dinsos dan Satpol PP terus menutup mata, fenomena ini akan terus berkembang, menormalisasi kemiskinan dan budaya instan di ruang publik. 

OPINI : Muhlis (Akademisi dan Penggiat Budaya Unmul)

Trending

https://flybharathi.com/airlines/