By admin
09.11.25

Bagaimana Prabowo Menjalankan Kapitalisme Negara Ala Deng Xiaoping? Ini Penjelasannya…

Bagaimana Prabowo Menjalankan Kapitalisme Negara Ala Deng Xiaoping? Ini Penjelasannya/Ilustrasi

MAHAKAMA – Dalam pusaran wacana ekonomi-politik Indonesia hari ini, satu istilah muncul dari balik retorika kedaulatan dan pembangunan, yakni “kapitalisme negara”. Sebuah gagasan yang menjanjikan arah baru, di mana negara yang tidak sekadar menjadi penjaga pagar pasar, melainkan juga pemain utama di dalamnya.

Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, ide ini tidak lagi sekadar bisik-bisik konseptual, ia mulai mengambil bentuk konkret, dan yang menarik, beraroma ambisi besar.

Daya Anagata Nusantara atau yang lebih dikenal dengan singkatan Danantara merupakan lembaga pengelola investasi yang diresmikan pada 24 Februari 2025, melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2025 yang mengubah secara mendasar struktur BUMN.

Dalam acara peluncuran itu, Prabowo berbicara dengan nada penuh percaya diri. “Yang kita luncurkan hari ini bukan sekadar dana investasi,” katanya, “melainkan alat pembangunan nasional yang akan mengubah cara kita mengelola kekayaan bangsa demi kesejahteraan rakyat.”

Jika ditarik ke belakang, Danantara merupakan proyek Prabowo untuk mewujudkan cita-cita ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, sejak 1980-an. Prabowo mengonfirmasi gagasan ayahnya itu dalam bukunya yang terbit tahun 2022 yang berjudul “Paradoks Indonesia dan Solusinya”.

Baru-baru ramai Film Dirty Vote II-O3 (2025) yang tayang di Youtube. Film dokumenter yang berdurasi 4 jam ini bukan cuma bikin jantung berdebar karena ngomongin busuknya politik dan kecurangan pemilu. Film itu juga memancing satu pertanyaan lama yang kini terasa makin relevan: sebenarnya, ekonomi Indonesia mau dibawa ke mana?

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, dengan gayanya yang santai tapi tajam, menyebut Prabowo Subianto sudah lama tergila-gila pada konsep state capitalism–atau dalam bahasa yang lebih umum “kapitalisme terpimpin” saat menyampaikan paparan di saluran YouTube Dirty Vote.

“Sejak lama sebenarnya Pak Prabowo cukup tergila-gila dengan konsep yang namanya state capitalism, kapitalis negara atau kapitalisme terpimpin,” ujar Bhima.

Tangkapan Layar Youtube Dirty Vote II O3

Prabowo terpukau dengan cara Deng Xiaoping memimpin reformasi China pada tahun 1978-1989 dengan membentuk 150 ribu BUMN yang mengelola sumber daya alam mereka. Sehingga, menurut Prabowo, solusi agar Indonesia bisa menyamai ekonomi China adalah dengan menerapkan kapitalisme negara melalui BUMN.

Ini dapat dilihat dalam bukunya halaman 28, Prabowo menulis bahwa kunci sukses ekonomi Tiongkok adalah penerapan dengan sungguh-sungguh prinsip kapitalisme negara, di mana “seluruh cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dan seluruh sumber daya alam dikuasai negara.”

Pada halaman 29, Prabowo menyebut, “Dengan kata lain, kita tidak secara sungguh-sungguh menjalankan Pasal 33 UUD 1945 sementara Tiongkok menjalankannya”. Kalimat itu terdengar gagah, seperti ingin bilang: “Lihat Tiongkok, kita bisa seperti itu kalau negara memimpin ekonomi”. Pertanyaannya, siapa yang dimaksud “negara”? Apakah rakyat, atau mereka yang duduk di singgasana kekuasaan?

Kisah Cinta Negara dan Pemodal

Indonesia sendiri pernah mencicipi konsep ini di era Demokrasi Terpimpin Soekarno. Bedanya, kala itu negara tampil sebagai pelindung rakyat dari pengaruh modal asing. Sekarang, kapitalisme terpimpin versi abad ke-21 tampil dalam balutan neoliberal: negara tampil gagah di depan publik, tapi fungsinya justru jadi fasilitator modal besar.

Yeremia Widjanarko dalam risetnya yang berjudul “21st Century Competition: State & Conglomeration-Driven Capitalism”, menyebutkan capitalism hybrid. Ia menjelaskan bahwa negara dan konglomerat bahu-membahu menguasai proyek strategis nasional. Sebut saja begini; negara jadi perencana, konglomerat jadi pelaksana, dan rakyat jadi penonton. Kira-kira begitu ilustrasinya.

Sebelumnya juga, Jeffrey Winters pernah menulis lewat istilah “oligarki pelindung”. Negara memberi perlindungan politik dan hukum pada para kapitalis besar, sementara para kapitalis itu menopang kekuasaan dengan modal mereka.

Jadi, jangan heran mengapa antara negara dan para pemodal, bisa terus berdampingan mesra. Sebab, para elitenya bersekongkol mencari celah supaya saling untung. Kapitalisme terpimpin ala Prabowo memberi ruang para oligarki untuk mengendalikan sistem ekonomi. Hasilnya, ya, mereka tambah kaya, dan rakyat makin sengsara.

Malapetaka Kapitalisme Terpimpin

Lalu apa dampak konkret dari kapitalisme terpimpin? Lihat saja proyek-proyek besar yang katanya demi rakyat itu. Contohnya, di sektor sawit. Investigasi The Gecko Project (2023) lewat laporan “The Promise Was a Lie” mengungkap bagaimana janji bagi hasil antara perusahaan dan masyarakat lokal tak pernah terealisasi.

Rakyat dijanjikan 20 persen kepemilikan lahan lewat skema plasma. Namun, mereka hanya dapat remahan janji. Saat perusahaan panen hasil, masyarakat hanya bisa menatap dari balik pagar kebun. Sekali lagi, negara hadir bukan sebagai pelindung, tapi pelayan bagi kepentingan oligarki.

Contoh tersebut memperlihatkan wajah asli kapitalisme terpimpin: proyek digerakkan atas nama rakyat, tapi hasilnya tak pernah kembali pada rakyat. Ini belum termasuk proyek besar lain, seperti IKN, yang kabarkan jadi “kota hantu” itu.

Pada akhirnya, kapitalisme terpimpin ala Prabowo bukan lagi sekadar teori ekonomi. Ia menjelma menjadi ideologi kekuasaan, yaitu sistem yang lihai menyamarkan ketimpangan dengan slogan kebangsaan.

Di tengah janji-janji besar pemerintah, malapetaka besar itu tetap mengintai: ekonomi yang dikendalikan dari pusat, oleh segelintir tangan yang dekat dengan kekuasaan.


Penulis : Desy Alvionita
Editor : Amin

Trending

https://flybharathi.com/airlines/