By admin
10.11.25

Terkadang Menyebalkan, Nyatanya Kita Tetap Butuh Pak Ogah di Samarinda

Terkadang Menyebalkan, Nyatanya Kita Tetap Butuh Pak Ogah di Samarinda/Istimewa

Sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur, Kota Samarinda merupakan salah satu kota terpadat – selain Balikpapan. Kota dengan julukan Kota Tepian ini juga dekat dengan Lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN), sekitar 123 kilometer atau perlu menempuh 2,5 jam perjalanan.

Di Samarinda juga terdapat banyak perguruan tinggi, termasuk yang terbesar di Kalimantan Timur, yaitu Universitas Mulawarman. Tak heran, banyak pendatang mulai dari calon mahasiswa hingga calon pekerja yang mengadu nasib di Kota Tepian ini.

Semakin tahun, semakin riuh pertambahan jumlah penduduk di Samarinda. Bayangkan jika masing-masing dari mereka memiliki 1 kendaraan motor. Hiruk pikuk jalan di Kota Samarinda kadang memuakkan ketika pagi dan sore hari.

Samarinda tak luput dari fenomena Pak Ogah atau “polisi cepek“. Mereka adalah relawan yang kerap berdiri di perempatan untuk mengatur lalu lintas di Kota Samarinda semakin meningkat. Terkadang, eksistensi mereka sebenarnya tidak dibutuhkan. Tapi jika melihat kondisi jalanan yang tak terkendali, maka kita tidak bisa mengamininya begitu saja.

Realitanya, Pak Ogah memang mau tak mau, masih ada karena masalahnya tidak hanya ada di mereka. Padahal, sering kali cara mereka mengatur lalu lintas tidak tepat. Kegiatan menghentikan, mengarahkan, dan memerintahkan kendaraan untuk jalan terus dan sebagainya itu melawan hukum.

Kenapa ada Pak Ogah di Samarinda?

Kenapa Pak Ogah di Samarinda itu ada dan berlipat ganda? Jawabannya sederhana, karena banyak titik kemacetan di jalan, tapi tidak ada yang mengurai. Yang berwenang tentu saja polisi dan Dinas (Dishub). Tapi ada? Pernah terlihat? Jarang, kan?

Ketiadaan petugas di titik-titik itu, akhirnya dilihat sebagai peluang oleh orang-orang yang menganggap ini sebagai ladang cuan. Meski orang-orang tersebut kurang bisa melakukan tugasnya dengan baik, tapi setidaknya mereka membuat lalu lintas agak mending ketimbang polisi.

Mari kita jujur saja, ketika sedang terburu-buru di jalan, apalagi saat musim hujan, bertemu Pak Ogah yang membantu kendaraan di persimpangan atau putaran jalan memang rasanya seperti mendapat bantuan. Dengan cekatan mereka memberikan aba-aba yang meskipun seringkali tanpa dasar aturan lalu lintas, membantu mengurai kemacetan kecil.

Kalau kalian mengeluhkan macet, maka perlu berpikir, itu bisa terjadi karena polisi yang sedang mengatur. Sebab, agar satu jalur lain bisa jalan, maka jalur lain harus disetop. Kalau disetop, otomatis kemacetan akan terjadi, kan? Apalagi dengan jumlah kendaraan di Samarinda yang telah melampaui jumlah penduduk. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Mei 2025, jumlah kendaraan di Samarinda sekitar 1,04 juta unit, dengan rincian 866.887 unit sepeda motor, 103.752 unit mobil penumpang, dan 61.889 unit mobil barang atau muatan.

Artinya, kalau berpikir Pak Ogah dihilangkan, maka harus ada orang yang menggantikan tugas mereka. Tentu saja, pihak yang berwenang dalam hal ini adalah polisi dan Dishub.

Keluhan Sudah Sejak Lama

Sebenarnya permasalahan dan keluhan pada Pak Ogah di Samarinda sudah sejak lama. Yang paling sering terlihat di persimpangan jalan Anggur-Letjen Suprapto menuju arah flyover dan di simpang empat Sungai Karang Mumus – Muso Salim, titik kemacetan paling jahanam di Samarinda. Menjelang sore selalu menjadi titik kemacetan. Pak Ogahnya juga ada di sana sejak lama untuk mengatur jalannya lalu lintas.

Tapi, nyatanya, selama bertahun-tahun, titik tersebut nggak juga dicari solusinya. Padahal udah terkenal. Jika perempatan paling jahanam, paling terkenal, paling sering dikeluhkan, belum ditangani, bagaimana dengan titik kemacetan lainnya di Samarinda?

Artinya, masalah pak ogah ini sebenarnya kompleks. Mereka hanya melihat peluang, dan kenyataannya mereka membantu. Tentu saja, tetap butuh pembinaan “Pak Ogah” secara teknis, dan juga perlu diberikan seragam seperti rompi. Sebab, dalam menjalankan tugas, Pak Ogah juga rawan resiko terserempet kendaraan.

Kedepannya Pemerintah Kota Samarinda juga dapat merumuskan solusi jangka panjang; pelatihan keterampilan dan pembukaan lapangan kerja yang legal agar menjadi jalan keluar yang lebih manusiawi.


Penulis: Desy Alvionita
Editor: Amin

Trending

https://flybharathi.com/airlines/