Mahakama.co.id – Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, memiliki ambisi besar untuk menjadikan negaranya sebagai pusat kecerdasan buatan (AI) dunia. Dalam upaya mewujudkan visi tersebut, Trump telah menunjuk mantan senator New York, Lee Zeldin, untuk memimpin Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA). Zeldin diharapkan dapat memainkan peran krusial dalam mengatur sektor energi yang erat kaitannya dengan infrastruktur AI.
Di bawah kepemimpinan Zeldin, EPA akan fokus pada pengawasan kontribusi infrastruktur AI terhadap polusi dari pembangkit listrik. Pusat data AI, yang digunakan untuk pelatihan teknologi ini, membutuhkan konsumsi energi yang sangat besar. Menurut penelitian Goldman Sachs, permintaan listrik untuk AI dapat meningkat hingga 160 persen pada tahun 2030. Hal ini menambah kekhawatiran akan meningkatnya emisi karbon dari pembangkit listrik yang menyuplai energi untuk industri ini.
Kekhawatiran Kelompok Lingkungan
Namun, kebijakan Zeldin yang dianggap terlalu akomodatif terhadap bisnis menimbulkan kekhawatiran di kalangan kelompok pemerhati lingkungan. Manish Bapna, Presiden Natural Resources Defense Council (NRDC), menegaskan pentingnya peran EPA dalam menjaga kebersihan udara dan air serta kesehatan masyarakat. “Kita mengandalkan EPA untuk melindungi udara dan air bersih serta kesehatan masyarakat,” ujarnya, seperti dikutip oleh The Verge.
Langkah Teknologi Besar Mengurangi Jejak Karbon
Perusahaan-perusahaan teknologi besar, seperti Google dan Microsoft, telah berusaha mengurangi dampak lingkungan dari pengembangan AI. Keduanya aktif berinvestasi dalam energi terbarukan dan mendukung pengembangan energi nuklir sebagai sumber daya yang bebas polusi karbon. Meski demikian, mereka mengakui bahwa jejak karbon mereka tetap meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi AI. (net/ra)
